Halaman

Rabu, 14 November 2012

Materi Kuliah Pengantar Bisnis Memotivasi Dan Memimpin Karyawan

Pertemuan ke-10
Topik: Memotivasi Dan Memimpin Karyawan
Tujuan: Mahasiswa mengetahui pentingnya kepuasan dan semangat kerja, teori motivasi karyawan, strategi meningkatkan kepuasan dan semangat kerja, dan gaya kepemimpinan manajerial.
Pokok Bahasan
1. Pentingnya Kepuasan dan Semangat Kerja
2. Motivasi di Lingkungan Kerja
3. Strategi untuk Meningkatkan Kepuasan dan Semangat Kerja
4. Gaya Manajerial dan Kepemimpinan

Tugas: Studi Kasus “Mengembalikan P&G Ke Jalan Yang Benar”
Buku Rujukan: Introduction to Business, Griffin, W.R / Bab.9
Deskripsi:
1.      Pentingnya Kepuasan dan Semangat Kerja
Secara umum, kepuasan kerja (job satisfaction) adalah tingkatan kenikmatan yang diterima orang dari melakukan pekerjaan mereka. Apabila orang menikmati pekerjaan mereka, mereka cukup puas, bila mereka tidak menikmati pekerjaan mereka, mereka kurang puas. Dengan demikian karyawan yang puas cenderung mempunyai semangat kerja (morale): keseluruhan sikap karyawan terhadap lingkungan kerja mereka-yang tinggi. Semangat kerja mencerminkan sejauh mana mereka merasa bahwa kebutuhan mereka terpenuhi oleh pekerjaan mereka. Semangat kerja ditentukan oleh berbagai macam faktor, yang meliputi kepuasan kerja dan kepuasan atas berbagai faktor seperti upah, tunjangan, rekan-rekan kerja, dan kesempatan mendapatkan promosi.
Perusahaan dapat meningkatkan semangat dan kepuasan kerja karyawan dengan berbagai cara. Contohnya, beberapa perusahaan besar telah melaksanakan program-program yang lingkupnya mencakup seluruh perusahaan dan didesain untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan karyawan.
Para manajer di Hyatt Hotel melaporkan bahwa dengan sering melakukan survey terhadap sikap karyawan, mengumpulkan masukan karyawan, dan yang lebih penting bertindak berdasarkan masukan-masukan tersebut, perusahaan akan mendapatkan keunggulan dalam merekrut dan mempertahankan para pekerjanya yang produktif.
Apabila para pekerja puas dan memiliki semangat kerja tinggi, organisasi mendapat berbagai macam manfaat. Contohnya, bila dibandingkan dengan para pekerja yang tidak puas, karyawan yang puas akan lebih berkomitmen dan setia. Karyawan-karyawan seperti itu kemungkinan besar akan bekerja lebih keras dan memberikan sumbangan yang berharga bagi organisasi. Disamping itu, mereka cenderung tidak terlalu banyak mengeluh dan lebih sedikit yang berperilaku negatif (mengeluh, secara sengaja memperlambat kerja mereka, dan sebagainya) dibandingkan dengan rekan-rekannya yang kurang puas. Akhirnya, para pekerja yang puas cenderung tidak saja datang untuk bekerja tiap hari tetapi tetap bertahan di dalam organisasinya. Dengan meningkatkan kepuasan dan semangat kerja mereka, berarti manajemen berusaha menjamin pelaksanaan operasi yang lebih efisien.
Sebaliknya, biaya atas ketidakpuasan dan rendahnya semangat kerja sangatlah tinggi. Para pekerja yang tidak puas mungkin lebih sering absen dengan alasan gangguan kesehatan yang tidak berarti, alasan-alasan pribadi, atau rasa keengganan untuk pergi bekerja. Semangat kerja yang rendah juga dapat mengakibatkan tingginya tingkat perputaran karyawan (turnover): Persentase angkatan kerja organisasi yang keluar yang harus diganti. Tingkat perputaran karyawan yang tinggi mempunyai konsekuensi negatif, yang meliputi gangguan jadwal produksi, biaya pelatihan yang tinggi, dan produktivitas berkurang. Dilain pihak tingkat perputaran karyawan yang sedang bisa bermanfaat: Organisasi dapat menghilangkan pekerjaaan dari karyawan yang berkinerja rendah dan/atau membawa gagasan baru dan bakat yang segar.
2.      Motivasi Di Lingkungan Kerja
Walaupun kepuasan kerja dan semangat kerja merupakan hal yang penting, motivasi karyawan merupakan faktor yang bahkan lebih penting bagi keberhasilan perusahaan. Motivasi merupakan salah satu bagian dari fungsi manajerial pengarahan (directing). Secara umum, motivasi didefenisikan sebagai serangkaian kekuatan yang menyebabkan orang berperilaku dalam cara tertentu. Seorang pekerja mungkin termotivasi untuk bekerja keras dan berproduksi sebanyak mungkin, sementara yang lainnya mungkin termotivasi untuk berproduksi secukupnya saja.
Selama bertahun-tahun, banyak bermunculan teori dan penelitian yang berusaha membahas masalah-masalah itu. Dalam bagian ini, kita akan menelusuri penelitian dan teori utama mengenai motivasi karyawan. Kita kan berfokus pada tiga pendekatan hubungan antar manusia di lingkungan kerja yang mencerminkan kronologi pemikiran dasar dalam bidang itu: (1) teori klasik dan manajemen ilmiah, (2) teori perilaku, dan (3) teori motivasi kontemporer.
1.      Teori Klasik
Menurut teori motivasi klasik, para pekerja termotivasi semata-mata oleh uang. Dalam buku yang menjadi rujukan banyak pakar lain, The Principles of Scientific Management, seorang insinyur industri Frederick Taylor mengusulkan cara perusahaan dan para pekerja memanfaatkan cara pandang kehidupan di lingkungan kerja. Usulannya telah diterima oleh masyarakat luas. Apabila para pekerja termotivasi oleh uang, menurut Taylor, membayar mereka lebih banyak akan mendorong mereka berproduksi lebih banyak pula. Sementara itu, perusahaan yang menganalisis pekerjaan dan menemukan cara yang lebih baik untuk mengerjakannya dapat memproduksi barang-barang dengan lebih murah, memperoleh laba yang lebih banyak, dan karenanya perusahaan membayar serta memotivasi para pekerja lebih baik daripada pesaingnya.
Pendekatan Taylor dikenal sebagai manajemen ilmiah (scientific management). Ide-idenya menangkap khayalan banyak manajer di awal abab kedua puluh. Dengan segera, pabrik-pabrik di seluruh pelosok Amerika Serikat mempekerjakan ahli-ahli untuk melakukan penelitian waktu dan gerakan (time and motion studies): Teknik-teknik rekayasa industri yang diaplikasikan pada tiap-tiap aspek atau bagian pekerjaan agar dapat menentukan cara melakukan pekerjaan tersebut secara lebih efisien. Penelitian-penelitian itu merupakan usaha-usaha ilmiah pertama yang berusaha merinci pekerjaan menjadi komponen-komponen yang mudah diulang serta mencari alat dan mesin yang efisien untuk melakukannya.
2.      Teori Perilaku: Penelitian Hawthorne
Pada tahun 1925, sekelompok peneliti dari Harvard memulai penelitian di Hawthorne Works of Western Electric di luar kota Chicago. Dengan tujuan meningkatkan produktivitas, mereka ingin mengamati hubungan antara perubahan lingkungan fisik dan output para pekerja.
Hasil eksperimen tersebut tidak terduga, bahkan membingungkan. Contohnya, meningkatnya penerangan juga memperbaiki produktivitas. Lebih jauh lagi, berlawanan dengan semua perkiraan, kenaikan upah gagal meningkatkan produktivitas. Perlahan-lahan, para peneliti berhasil memecahkan  teka teki tersebut. Penjelasannya terletak pada reaksi para pekerja terhadap perhatian yang mereka terima. Para peneliti menyimpulkan bahwa produktivitas akan meningkat sebagai tanggapan atas semua tindakan manajemen yang dinilai oleh para pekerja sebagai perhatian khusus. Penemuan itu yang sekarang dikenal luas sebagai efek Hawthorne (Hawthorne effect)---mempunyai pengaruh besar pada teori hubungan manusia, walaupun dalam banyak kasus, teori itu hanya bertujuan menyakinkan para manajer bahwa mereka harus lebih banyak memperhatikan para karyawannya.
3.      Teori Motivasi Kontemporer
Berdasarkan penelitian Hawthorne, para manajer dan peneliti lebih berfokus pada pentingnya hubungan manusia dalam memotivasi kinerja karyawan. Dengan berfokus pada faktor-faktor yang dapat menyebabkan, emusnahkan, dan mempertahankan perilaku pekerja, hampir semua pembuat teori motivasi membahas cara manajemen menganggap dan memperlakukan para karyawannya. Teori motivasi utama mencakup model sumber daya manusia, hierarki kebutuhan, teori dua faktor, teori pengharapan (ekspektansi), dan teori keadilan.
§  Model Sumber Daya Manusia: Teori X dan Y
Dalam suatu penelitian yang penting, ilmuwan prilaku Douglas McGregor menyimpulkan bahwa para manajer mempunyai kepercayaan yang sangat berbeda mengenai cara terbaik menggunakan sumber daya manusia suatu perusahaan. Ia mengklasifikasikan keyakinan itu ke dalam serangkaian asumsi yang ia beri label “Teori X” dan “Teori Y”.
Para manajer yang menganut Teori X cenderung menyakini kebenaran asumsi bahwa orang bersifat malas dan tidak mau bekerja sama dan oleh karenanya harus dihukum atau diberi imbalan (rewards) agar mereka menjadi produktif. Para manajer yang menganut teori Y, sebaliknya cenderung percaya bahwa orang-orang pada dasarnya energik, berorientasi ke perkembangan, memotivasi diri sendiri, dan tertarik untuk menjadi produktif.
§  Model Hierarki Kebutuhan Maslow
Model hierarki kebutuhan (hierarchy of needs model) dari seorang psikolog, Abraham Maslow, menyatakan bahwa orang mempunyai sejumlah kebutuhan yang berbeda-beda yang mereka coba penuhi dari pekerjaan mereka. Ia mengklasifikasikan kebutuhan-kebutuhan itu menjadi lima tipe dasar dan menyarankan agar kebutuhan itu disusun menurut hierarki prioritas seperti yang terlihat di Gambar 9.1.
Menurut Maslow, Kebutuhan merupakan hal yang bertingkat-tingkat karena kebutuhan yang tingkatannya rendah harus sudah dipenuhi sebelum sebelum seseorang mencoba memuaskan kebutuhan yang tingkatannya lebih tinggi.
Setelah serangkaian kebutuhan dipenuhi, kebutuhan itu berhenti memotivasi perilaku. Itulah arti dari kebutuhan yang bersifat hierarkis dari tingkatan yang rendah ke yang lebih tinggi dalam mempengaruhi motivasi dan kebutuhan karyawan. Contohnya, jika Anda merasa aman dalam pekerjaan Anda, rencana pensiun yang baru mungkin tidak terlalu penting bagi Anda jika dibandingkan dengan kesempatan mencari kawan-kawan baru dan memasuki jaringan informal di antara rekan kerja Anda.
Akan tetapi, jika kebutuhan tingkatan rendah mendadak tidak terpenuhi, hampir semua orang segera berfokus kembali ke tingkatan rendah tersebut. Contohnya, misalkan saja Anda mencari cara untuk memenuhi kebutuhan harga diri Anda dengan bekerja sebagai manajer divisi di suatu perusahaan besar. Jika Anda mengetahui bahwa divisi Anda dan, akibatnya pekerjaan Anda mungkin akan dihapuskan, Anda mungkin melihat kepastiaan keamaan kerja di perusahaan yang baru dapat memotivasi Anda sekuat promosi yang terjadi sebelumnya di perusahaan lama Anda.
§  Teori Dua Faktor
Setelah mengamati sekelompok akuntan dan insinyur, psikolog bernama Frederick Herzberg menyimpulkan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan kerja bergantung pada dua faktor: faktor-faktor higienis, seperti kondisi kerja, dan faktor-faktor motivasi, seperti pengakuan atas pekerjaan yang telah diselesaikan dengan baik.
Menurut teori dua faktor (two-factors theory), faktor-faktor higienis mempengaruhi motivasi dan kepuasan hanya jika faktor itu tidak dapat atau gagal memenuhi harapan-harapan. Contohnya, para pekerja akan menjadi tidak puas bila mereka percaya bahwa mereka berada dalam kondisi tempat kerja yang menyedihkan. Akan tetapi, bila kondisi tempat kerjanya membaik, mereka tidak harus menajdi puas, mereka hanya tidak merasa tidak puas. Sebaliknya, apabila para pekerja tidak menerima pengakuan atas pekerjaan yang sukses, mereka mengalami ketidakpuasan sekaligus tidak mengalami kepuasan. Bila mereka diberi pengakuan, mereka kemungkinan besar menjadi lebih puas.
Gambar 9.2 menggambarkan teori dua faktor. Perhatikan bahwa faktor-faktor motivasi terletak di antara dua kondisi yaitu kepuasan (satisfaction) dan tidak ada kepuasan (no satisfaction). Sebaliknya, faktor-faktor higienis lebih mungkin menimbulkan perasaan yang terletak pada rentang ketidakpuasaan (dissatisfaction) dan tidak ada ketidakpuasan (no satisfaction).  Faktor motivasi berhubungan langsung dengan pekerjaan yang dilakukan oleh para karyawan, sedangkan faktor higienis mengacu pada lingkungan tempat mereka melakukannya.
§  Teori Ekspektansi
Teori Ekspektansi (expectancy theory) menyatakan bahwa orang-orang termotivasi bekerja karena ingin mendapatkan imbalan yang mereka inginkan dan bahwa mereka percaya mereka mempunyai peluang atau harapan (ekspektansi) yang masuk akal untuk meraihnya. Imbalan yang sepertinya berada di luar jangkauan mungkin tidak diinginkan bahkan jika imbalan itu pada hakikatnya positif.
Teori ekpektansi juga membantu menjelaskan mengapa beberapa orang tidak bekerja sekeras mungkin ketika gaji mereka semata-mata didasarkan pada senioritas. Karena mereka memperoleh bayaran yang sama, tanpa melihat apakah mereka bekerja keras atau hanya sedang-sedang saja, tidak ada insentif keuangan bagi mereka untuk bekerja lebih keras. Dengan kata lain, mereka bertanya kepada diri mereka sendiri, “Apabila saya bekerja lebih keras, apakah saya akan diberi kenaikan upah?” dan menyimpulkan bahwa jawabannya tidak. Serupa halnya, apabila kerja keras akan mengakibatkan satu atau lebih hasil yang tidak diinginkan---katakanlah, transfer ke lokasi lain atau kenaikan jabatan ke pekerjaan yang memerlukan banyak bepergian---para karyawan tidak termotivasi untuk bekerja lebih keras.
§  Teori Keadilan
Teori Keadilan (equity theory) menyatakan bahwa orang-orang mengevaluasi perlakuan organisasi terhadap mereka dibandingkan dengan perlakuan organisasi terhadap orang-orang lain. Pendekatan itu beranggapan bahwa orang akan memulai dengan menganalisis masukan atau input (apa yang mereka sumbangkan ke pekerjaan mereka berupa waktu, usaha, pendidikan, pengalaman, dan sebagainya) dibandingkan dengan keluaran atau ouput (apa yang mereka dapatkan---gaji, fasilitas, pengakuan, keamanan). Hasilnya adalah nisbah (rasio) sumbangan (contribution) terhadap perolehan (return). Kemudian mereka membandingkan nisbah mereka sendiri dengan nisbah karyawan-karyawan lainnya; mereka menanyakan apakah nisbahnya sama dengan, lebih besar, atau kurang dari orang-orang yang mereka bandingkan dengan dirinya sendiri. Bergantung pada hasil penilaian tersebut, mereka akan merasa diperlakukan secara adil atau tidak adil (inequity). Ketika orang-orang merasa bahwa mereka tidak diperlakukan secara adil, mereka mungkin akan melakukan berbagai hal untuk memwujudkan kembali keadilan. Contohnya, mereka mungkin akan meminta kenaikan gaji, mengurangi usaha mereka, bekerja dengan waktu yang lebih pendek, atau hanya mengeluh kepada bos mereka. Mereka mungin mencari-cari alasan, mencari orang-orang lain yang bisa dijadikan perbandingan, atau meninggalkan pekerjaan mereka.
3.      Strategi Untuk Meningkatkan Kepuasan dan Semangat Kerja
Memutuskan hal apa yang memberikan kepuasan kerja dan memotivasi para pekerja hanyalah salah satu bagian dari manajemen sdm. Bagian lainnya adalah menerapkan pengetahuan tersebut. Para ahli menyarankan---dan banyak perusahaan telah mengimplementasikannya---berbagai jenis program yang dirancang untuk membuat  pekerjaan menjadi lebih menarik dan lebih banyak memberikan imbalan, untuk membuat lingkungan kerja menjadi lebih menyenangkan dan memotivasi karyawan untuk bekerja lebih keras.
§  Teori Reinforcement/ Modifikasi Perilaku
Banyak perusahaan mencoba mengontrol atau bahkan memodifikasi perilaku para pekerja melalui imbalan dan hukuman yang sistematis atas perilaku tertentu. Dengan kata lain, mereka mencoba menetapkan dulu perilaku tertentu yang harus diperlihatkan oleh karyawan (bekerja keras, ramah kepada pelanggan, menekankan kualitas) dan perilaku tertentu yang ingin mereka hapuskan (membuang-buang waktu, kasar kepada pelanggan, mengabaikan kualitas). Kemudian mereka mencoba membentuk perilaku karyawan dengan menghubungkan pemberian reinforcement (penguatan) dengan perilaku yang diinginkan, dan hukuman dengan perilaku yang tidak diinginkan.
Reinforcement digunakan ketika perusahaan membayar imbalan per hasil (piecework rewards) yaitu ketika para pekerja dibayar perhasil atau per produk yang terselesaikan. Dalam strategi reinforcement, imbalan mengacu ke semua hal positif yang didapatkan oleh orang-orang dari bekerja (gaji, pujian, promosi, kepastian kerja, dan lain-lain). Ketika pemberian imblan dikaitkan langsung dengan kinerja, pemberian itu berlaku sebagai positive reinforcement (penguatan positif). Sebagai contoh, memberikan bonus berupa uang tunai yang besar kepada para penjual, yang berhasil melebihi target mendorong mereka bekerja lebih keras lagi pada masa penjualan berikutnya.
Hukuman (punishment) dirancang untuk mengubah perilaku dengan cara memberikan akibat yang tidak menyenangkan jika orang-orang gagal mengubah perilakunya menjadi perilaku yang dinginkan. Sebagai contoh, karyawan yang sering kali datang terlambat mungkin akan diskors atau ditangguhkan pembayaran gajinya.
Imbalan yang diberikan secara besar-besaran dikatakan berhasil apabila orang-orang mempelajari perilaku yang baru, atau pekerjaan yang baru. Sejalan dengan bertambah terampilnya pekerja, imbalan dapat lebih jarang digunakan. Karena tindakan-tindakan seperti itu memberikan sumbangan pada hubungan karyawan majikan secara positif, para manajer umumnya lebih menyukai pemberian imbalan dan pemberian nilai positif atas kinerja. Sebaliknya, hampir semua manejer tidak menyukai pemberian hukuman, karena hal itu bisa mengakibatkan para pekerja bereaksi dengan kemarahan, ketidaksukaan, permusuhan, atau bahkan pembalasan. Untuk mengurangi resiko itu, banyak manajer memasangkan hukuman dengan imbalan untuk mendapatkan perilaku yang baik dari sifatnya.
§  Manajemen Berdasarkan Tujuan
Manajemen berdasarkan tujuan (management by objectives/ MBO) merupakan sistem penetapan sasaran secara bersama-sama dari atas sampai bawah suatu organisasi. Sebagai teknik untuk mengelola proses perencanaan, manajemen berdasarkan tujuan secara garis besar mengkhususkan diri dalam membantu para manajer mengimplementasikan dan melaksanakan rencana mereka. Akan tetapi seperti yang Anda lihat dalam Gambar 9.5, manajemen berdasarkan tujuan memerlukan serangkaian prosedur yang melibatkan para manajer dan bawahannya dalam menetapkan sasaran dan mengevaluasinya kemajuannnya. Setelah program tersebut dipersiapkan, langkah pertamanya adalah menetapkan sasaran organisasi secara keseluruhan. Sasaran itu pulalah yang pada akhirnya akan dievaluasi untuk menentukan keberhasilan program tersebut. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, kegiatan kolaboratif: berkomunikasi, bertemu, mengontrol dan sebagainya, merupakan kunci dari manajemen berdasarkan tujuan. Oleh karenanya, kegiatan kolaboratif juga dapat berguna sebagai program untuk meningkatkan kepuasan kerja dan motivasi.
§  Manajemen Partisipatif dan Pemberdayaan
Dalam manajemen partisipatif dan pemberdayaan, karyawan diberikan pilihan mengenai cara mereka melakukan pekerjaan mereka dan cara perusahaan dikelola, mereka diberdayakan untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar atas kinerja mereka sendiri. Tidak mengherankan, bahwa partisipasi dan pemberdayaan membuat para karyawan merasa lebih berkomitmen terhadap sasaran organisasi, karena mereka sendirilah yang membantu membentuknya.
4.      Gaya Manajerial dan Kepemimpinan
Dalam usaha memperbaiki semangat, kepuasan, dan motivasi kerja, para manajer dapat menggunakan berbagai gaya kepemimpinan. Kepemimpinan (leadership) adalah proses memotivasi orang lain agar bekerja mencapai tujuan-tujuan tertentu. Memimpin adalah salah satu aspek kunci pekerjaan manajer dan salah satu komponen penting fungsi pengarahan. Teori-teori awal mengenai kepemimpinan mencoba mengidentifikasikan sifat dasar yang terkait dengan pemimpin-pemimpin yang kuat. Contohnya adalah penampilan fisik, kepandaian, dan keahlian berbicara di publik pernah dianggap sebagai “modal dasar pemimpin”. Memang, pernah dipercaya bahwa orang-orang yang tinggi adalah pemimpin yang lebih baik  daripada orang-orang yang pendek. Akan tetapi, pendekatan sifat dasar itu terbukti merupakan alat prediksi yang buruk atas potensi kepemimpinan. Akhirnya, perhatian pun berpindah dari sifat dasar manajer ke perilaku mereka, atau gaya manajerial: pola perilaku yang diperlihatkan manajer dalam menghadapi bawahan-bawahannya. Gaya-gaya manajerial tersebut beraneka ragam, mulai dari otokratis, ke demokratis, lalu ke wewenang penuh. Tentu saja hampir semua manajer tidak berpegang hanya pada satu gaya. Tiga tipe gaya utama ini melibatkan beragam tanggapan terhadap masalah-masalah hubungan manusia. Pada kondisi yang berbeda, satu macam atau kombinasinya dapat terbukti memadai.
§  Para manajer yang menerapkan gaya otokratis (autocratic style) umumnya memberikan perintah dan mengharapkan mereka dipatuhi tanpa ragu-ragu. Tentu saja, komandan militer lebih menyukai dan umumnya membutuhkan) gaya otokratis di medan pertempuran. Karena tidak ada orang lain yang diajak konsultasi, gaya otokrasi memungkinkan pembuatan keputusan yang cepat. Jadi gaya tersebut akan berguna dalam kondisi pengujian keefektifan suatu perusahaan terhadap pesaing yang berdasarkan pada waktu (time based competitor).
§  Para manajer yang menerapkan gaya demokratis (democratic style) umumnya meminta masukan dari bawahan-bawahannya sebelum membuat keputusan, tetapi mereka tetap memegang kekuatan akhir dalam pembuatan keputusan. Contohnya, seorang manajer mungkin meminta anggota kelompok lainnya untuk mewawancarai dan menawarkan pendapat mengenai sekelompok pelamar. Akan tetapi, manajer itu sendiri yang pada akhirnya akan membuat keputusan terakhir.
§  Para manajer yang menerapkan gaya wewenang penuh (free-rein style) umumnya berperan sebagai penasihat bagi bawahan yang diperbolehkan membuat keputusan.
Menurut banyak pengamat, gaya kepemimpinan wewenang penuh menghasilkan pendekatan yang menekankan masukan karyawan keseluruhan ke dalam pembuatan keputusan dan membantu perkembangan lingkungan kerja di mana karyawan semakin banyak menentukan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya.
Tanpa mengabaikan teori-teori mengenai bagaimana pemimpin seharusnya memimpin, keefektifan semua gaya kepemimpinan sangat bergantung pada keinginan para bawahan dalam berbagi masukan dan melatih kreativitas. Sebagai contoh, beberapa orang frustasi, sedangkan beberapa lainnya menyukai manajer yang otokratis karena mereka tidak menginginkan dukungan suara dalam pembuatan keputusan. Sementara itu, pendekatan demokratis bisa menjadi tidak menyenangkan bagi orang-orang yang ingin memikul tanggung jawab pembuat keputusan maupun bagi yang tidak. Gaya wewenang penuh sangat bergantung pada kreativitas karyawan, dan pada solusi kreatif atas masalah-masalah yang ada. Gaya itu juga menarik bagi karyawan yang ingin merencanakan pekerjaan mereka sendiri. Masalahnya, tidak semua bawahan mempunyai latar belakang atau keahlian yang diperlukan untuk membuat keputusan yang kreatif. Sementara, lainnya tidak cukup termotivasi untuk bekerja tanpa pengawasan.
Share on :
Bookmark and Share
| Rabu, 14 November 2012 | 1 komentar

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Mantep banget nih Artikel, Sangat Berguna.

http://blog.binadarma.ac.id/merryagustina/

Posting Komentar

 

Entri Populer